Bukan manusia yang menyambut saya dan rombongan blogger dari seluruh penjuru Indonesia, ketika memasuki Hutan Nepa. Beberapa ekor keralah yang menyambut sore ini. Cuaca sedikit mendung tak menyurutkan niat mengelilingi Hutan Nepa. Mungkin karena tak panas inilah, puluhan kera berkeliaran mengikuti langkah kami ke dalam hutan.
Nepa disebut demikian karena di daerah ini banyak tumbuh tumbuhan 'Nipah'. Penyebutan masyarakat di Kabupaten Sampang ini membuatnya bergeser menjadi Nepa. Sebelum masuk ke Hutan, terlebih dahulu melewati bibir pantai yang disebut pantai Nepa sesuai dengan nama Hutan. Kegunaan pohon Nipah ini sangat banyak, Salah satunya bisa digunakan sebagai atap rumah pada dahulu sebelum mengunakan genting. Selain itu, Nipah berfungsi sama dengan bakau, menahan pengikisan tanah dari gelombang air laut.
Kera-kera ini bukanlah perwujudan dari hewan sesungguhnya. Masyarakat percaya bahwa kera-kera ini adalah prajurit-prajurit Raden Segoro. Raden Segoro adalah putra dari Putri Kerajaan Gilingwesi. Prajurit ini melawan Prajurit dari negeri asing hingga sekarang, kera-kera ini pun terbagi dalam dua kubu besar. Peraturan dalam kerajaan kera ini adalah barang siapa yang memasuki wilayah kerajaan kera lain, maka tak ada jalan lain kecuali harus mati, kecuali pada saat kedua kerajaan diserang oleh pihak-pihak luar.
Peraturan tidak tertulis inilah yang membuat saya cukup terperangah dan penasaran dengan kehidupan kera secara lebih dekat. Namun, semakin kaki melangkah, kera-kera tidak mau menampakan diri, hanya beberapa kera saja yang antusias dengan kami.
Sore ini nampak sepi, sepertinya hanya rombongan kami saja yang melintas sampai ke tengah Hutan dan melihat petilasan Kyai Poleng. Kyai Polong merupakan penjaga Puteri kerajaan Gilingwesi dan Raden Segoro. Merekalah yang dipercaya sebagai nenek moyang di Pulau Madura ini.
Melihat tingkah polah kera seperti mereka memiliki dunia mereka sendiri dan sangat kocak. Beruntung kera yang kami temui tidak agresif dan cenderung kooperatif dengan manusia. Ini juga yang masyarakat percaya bahwa kera-kera ini masih memiliki sifat manusia yang dibawa pada saat menjadi prajurit Raden Segoro.
Kisah nenek moyang Pulau Madura memang sangat menarik, dari mulut ke mulut dan turun temurun cerita ini digaungkan sehingga telah tertanam di alam bawah sadar.
Terima kasih kepada #BPWS dan Plat-M yang telah mengundang saya dan blogger-blogger nusantara dalam acara #MenduniakanMadura.
16 Comentarios
Nggak foto bareng penghuninya mas? :-D :-D
BalasHapusBiasanya banyak Kera yang usil loh.
Alhamdulillah hutannya masih asri ya mas, ada kasik makan monyet nya nggak mas?
BalasHapusBeruntung kera yang kami temui tidak agresif dan cenderung kooperatif dengan manusia
BalasHapusKooperatif i gimana mas? haha.
"Prajurit Kera" keren2
BalasHapusHanoman 😄
HapusWah pasukan hanomannya sudah dijinakkan kayaknya :v
BalasHapusSuasananya mirip seperti di Cagar Alam Pangandaran ya, hutan di pinggir pantai dan banyak kera liar di hutan itu
BalasHapusKoreksi mas, bukan kera tapi monyet. Kera ga berekor, monyet berekor.
BalasHapusItu Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis). :)
#pentingbangetyaguengoreksi hehehe
betul kata @nengnunuz_
Hapusitu monyet bukan kera :-)
Sekalian mengunjungi 'saudara tua' kita..
BalasHapushehe..
Saudara tua kita? hahaha, Agan Lomboj Wander aja kali kita nggak ya, hehehe
BalasHapusSaya setiap melihat kera, saya merasa becermin, inilah diri kita. #lah hahaha.
BalasHapusPokoknya harus hati-hati haha
ya ampun keranya banyak banget ya, jadi harus hati-hati jangan pergi sendiri-sendiri..
BalasHapusGak berani deh kalo sendirian ke sana. takut dikeroyok pasukan kera
BalasHapusdi Jepang juga ada hutan yang khusus para kera. tempatnya sangat bagus dan bersih
BalasHapusberani tebak, pemimpin kerajaan kera tersebut ialah sun go koong isin dahaw iyaw.
BalasHapus