Sudah 15 tahun saya hidup di antara ransel, paspor, dan boarding pass. Dari pasar malam di Bangkok, jalanan bersalju di kaki Gunung Fuji, istana megah Gyeongbokgung di Seoul, sampai hiruk-pikuk Ximending Taipei, semua saya lalui bukan sekadar sebagai turis, tapi sebagai seorang traveler sekaligus pemandu. Bahkan belakangan saya membuka travel agent sendiri, mengatur itinerary orang lain sambil tetap mencuri waktu untuk bertualang.
Tapi ada satu hal yang jarang saya perhitungkan saat menyusun perjalanan panjang: mata saya sendiri.
Bukan cuma kaki yang lelah menempuh langkah ribuan, mata pun ternyata bisa kelelahan menatap layar ponsel, mengecek peta, mencari spot foto terbaik, bahkan hanya sekadar menyapa senyum klien saat trip. Saya mulai sadar ada yang salah saat suatu hari di Osaka, mata saya terasa perih, berair, dan terasa berat dibuka. Sinar matahari musim semi yang seharusnya hangat malah terasa menyilaukan. Malam harinya, saat menyusun laporan perjalanan untuk klien, layar laptop terlihat kabur.
"Mungkin kurang tidur," pikir saya. Tapi masalahnya terus berulang. Di Korea Selatan, saat harus menjelaskan sejarah istana Gyeongbokgung kepada rombongan, mata saya kembali terasa sepet dan kering. Kadang perih. Kadang seperti berpasir.
Mata Kering Jangan Sepelein: Tantangan Serius di Tengah Petualangan
Saya tahu betul, sebagai traveler dan tour guide, saya harus punya penglihatan yang tajam. Setiap jalan sempit di kota tua, papan petunjuk dalam bahasa asing, atau perubahan cuaca mendadak, semua butuh respon cepat. Tapi bagaimana mungkin saya bisa fokus kalau tiap kali mata terasa pedih, seperti habis menangis semalaman?
Ternyata, gejala yang saya alami mata sepet, perih, dan lelah, bukan cuma efek kurang tidur atau jetlag. Itu tanda awal dari mata kering. Mata saya kehilangan kelembapannya, terlalu lama terpapar AC hotel, sinar matahari ekstrem, dan tentu saja layar gawai yang tak pernah lepas.
Mata kering jangan sepelein. Serius. Awalnya memang terasa sepele, hanya sedikit tidak nyaman. Tapi makin lama bisa mengganggu aktivitas, bahkan bisa berisiko saat kita harus ambil keputusan cepat di jalan. Saya pernah salah naik bus di Chiang Mai hanya karena mata saya berair dan buram sesaat padahal jadwal padat.
Saya mulai cari solusi. Tapi sebagai traveler, saya nggak bisa bergantung ke klinik mata setiap kota. Saya butuh cara efektif dan praktis.
Insto Dry Eyes: Penyelamat Tak Terduga dalam Ransel Saya
Tips Ringan Tapi Berarti
Selama ini saya kira merawat mata itu ribet, tapi ternyata cukup beberapa hal sederhana:
Kadang saya berhenti di tengah perjalanan, pura-pura cek arah atau ambil foto, padahal cuma pengin kasih waktu mata saya bernapas. Saya alihkan pandangan ke langit, ke pohon, atau ke arah mana pun yang jauh dari layar. Nggak pakai rumus, tapi cukup untuk bikin mata saya lega dan nggak makin lelah.
Saya juga lebih rajin minum air putih. Di negara dingin, sering lupa hidrasi, padahal itu penting untuk kelembapan mata. Dan tentu saja, tetesin Insto Dry Eyes jadi ritual ringan yang menyelamatkan banyak momen.
Perjalanan saya masih panjang. Masih banyak sudut dunia yang ingin saya kunjungi dan potret. Tapi sekarang, saya nggak cuma packing kamera, paspor, dan peta. Saya juga bawa satu botol kecil Insto Dry Eyes. Karena saya percaya, mata yang nyaman akan menangkap momen terbaik, tanpa gangguan.
Dan yang terpenting, nggak perlu ke dokter dulu kalau kita bisa cegah sejak awal.
Mata sepet, perih, lelah? Jangan tunggu makin parah. Tetesin Insto Dry Eyes, dan biarkan petualangan tetap terang.
0 Comentarios