![]() |
| Sumber gambar : radioidola.com |
Tidak semua pengabdian dimulai dari kenyamanan. Bagi Theresia Dwiaudina Sari Putri, atau Dini begitu ia disapa, jalan pengabdiannya justru dimulai dari tanah berlumpur, sungai tanpa jembatan, dan rute berbukit menuju Uzuzozo, sebuah desa terpencil di Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur.
Lulusan kebidanan dari Surabaya ini awalnya hanya melamar sebagai tenaga honorer di kampung halamannya. Tapi takdir membawanya menjadi bidan pertama di Uzuzozo—wilayah tanpa fasilitas kesehatan dan jauh dari puskesmas. Setiap hari, Dini menempuh perjalanan 1–2 jam dengan motor tuanya, kadang terpaksa memarkirnya di tepi sungai, lalu melanjutkan dengan berjalan kaki berkilometer sambil membawa alat kesehatan.
“Kalau di sini, jalan kaki jauh itu biasa. Orang yang nggak biasa justru dibilang manja,” ucapnya dalam program Orang Kita di YouTube Mosato Doc.
Di tengah keterbatasan, Dini tetap menjalankan tugasnya dengan semangat yang sama setiap hari yaitu menemui ibu hamil, memeriksa balita, hingga memberikan penyuluhan tentang kebersihan dan gizi.
Dipinang dengan Seekor Anjing dan Panggilan Hati
Tahun 2017 menjadi titik balik dalam hidupnya. Kepala desa Uzuzozo memintanya menjadi bidan desa resmi yang digaji dari anggaran desa. Namun kisah unik pun terjadi di awal pengangkatannya.
“Awalnya saya dipinang dengan bayaran anjing,” kenang Dini sambil tersenyum saat diwawancarai Radio Idola.
Di Nusa Tenggara Timur, sistem barter masih hidup. Seekor anjing adalah simbol penghargaan dan kepercayaan, hewan yang menjaga rumah dan ternak. Bayaran yang mungkin sederhana, tapi penuh makna.
Sejak saat itu, Dini memikul tanggung jawab besar. Ia menjadi satu-satunya tenaga kesehatan di Uzuzozo dan mengurusi semua bidang: mulai dari kesehatan ibu dan anak, remaja, hingga lansia. Tidak ada jam kerja pasti, tidak ada batas waktu, dan kadang gajinya baru diterima berbulan-bulan kemudian.
Namun, semangatnya tidak pernah pudar. Dini mulai membangun kepercayaan masyarakat yang sebelumnya masih memegang tradisi lama: melahirkan dibantu dukun beranak, ibu hamil jarang periksa kandungan, dan anak-anak tidak mendapat imunisasi. Perlahan, Dini mengubah semua itu lewat pendekatan personal dan sabar. Ia bahkan bekerja sama dengan para dukun beranak agar proses persalinan menjadi lebih aman.
Menyelamatkan Generasi, Satu Piring Sehat Setiap Hari
Di tengah pekerjaannya, Dini menemukan tantangan besar lain: stunting. NTT menjadi provinsi kedua tertinggi di Indonesia dengan prevalensi 37,9% pada tahun 2023. Di Uzuzozo sendiri, ada 15 anak yang mengalami stunting pada 2019.
Namun bagi Dini, masalah ini bukan semata soal pangan, tapi soal pola asuh dan kebiasaan keluarga. Orang tua di sana terbiasa menyajikan makanan tanpa mengajak anak untuk makan. Dalam budaya lokal, menyuruh anak dianggap tidak sopan karena makanan yang sudah disediakan dianggap cukup sebagai tanda kasih.
Dini kemudian mulai memberikan edukasi baru: bahwa perhatian dan interaksi juga penting untuk tumbuh kembang anak. Ia mengajarkan cara mengolah bahan lokal seperti daun kelor, jagung titi, dan ikan menjadi makanan bergizi. Bersama masyarakat, Dini memulai perubahan kecil yaitu satu piring sehat setiap hari.
Perubahan itu nyata. Jumlah anak stunting menurun, kesadaran gizi meningkat, dan sejak Dini bertugas tidak ada lagi kematian ibu melahirkan di Uzuzozo. Sebuah pencapaian besar untuk desa kecil di ujung timur Indonesia.
Dari Uzuzozo untuk Indonesia
Perjuangan Dini akhirnya mendapat apresiasi nasional lewat SATU Indonesia Award 2023 dari Astra. Penghargaan itu memberinya dana dan alat kesehatan untuk mendukung program-programnya. Namun baginya, penghargaan hanyalah bonus.
“Saya hanya ingin masyarakat di sini sehat. Itu saja sudah cukup,” katanya sederhana.
Kini, setiap kali ia melewati jalan berlumpur dengan motor tuanya, Dini tahu satu hal: perjuangan ini bukan tentang dirinya, tapi tentang kehidupan yang bisa diselamatkan. Tentang harapan yang tumbuh dari tangan-tangan kecil di Uzuzozo, dan tentang seorang bidan desa yang memilih bertahan demi cinta pada kampung halamannya.
Karena bagi Dini, pengabdian bukan soal berapa besar gaji yang diterima, tapi seberapa jauh langkah kaki bisa membawa perubahan bagi orang lain.
.jpg)
.jpg)
.jpg)
0 Comentarios